NarasiLia.com

Berbagi pengalaman tentang keluarga, gaya hidup, kesehatan, hewan peliharaan, naik kereta, dan kegiatan anak.

5.12.13

Eloknya “99 Cahaya di Langit Eropa” (Resensi Film)


“Menurut kamu, apa yang aneh dalam lukisan ini?”, tanya Marion Latimer (Dewi Sandra) seorang mualaf dan sejarawati Paris kepada Hanum (Acha Septriasa) tepat di depan lukisan bunda Maria. “Perhatikanlah pada kerudungnya!”.
“Tulisan Laa Ilaaha Illallah..?”
Itulah sepenggal percakapan yang terkesan dalam film garapan sutradara Guntur Soeharjanto. Akan tayang mulai hari ini, 5 Desember 2013, serentak di bioskop seluruh Indonesia. Bagi anda yang memiliki impian untuk dapat menjejakkan kaki di Eropa atau sekedar ingin bernostalgia, saatnya wajib menonton film ini bersama keluarga atau teman. 

Diilhami dari kisah novel laris yang berjudul sama, setiap adegan hampir seluruhnya mengangkat kemegahan dan keelokan serta bukti-bukti nyata tentang sejarah kejayaan Islam dan Eropa yang layak diketahui.

Film persembahan Maxima Pictures studio dan didukung penuh oleh Uni Eropa ini menceritakan perjalanan spiritual yang ditemui pasangan suami istri asal Indonesia ketika tinggal di Eropa selama tiga tahun. Bermula dari Hanum yang tidak sepenuhnya merasa gembira di Austria. 

Sebagai pengusir rasa bosan, dia mengambil kursus bahasa Jerman. Dan sebatang coklat yang ditawarkannya kepada seorang murid wanita keturunan Turki, Fatma Pasha (Raline Shah), menjadi pembuka pintu persahabatan yang justru membuat hari-hari Hanum semakin lebih menarik. 
Fatma dan anaknya, Ayse (Geccha Tavvara), menjadi pendamping perjalanan Hanum menyusuri jejak peradaban Islam di Eropa. Lakon menghina Turki dengan mencaplok roti croissant dan asal muasalnya biji kopi cappuccino menjadi hal yang menggugah batin bahwa sebagai warga minoritas harus tetap bersikap sabar dan selalu menjadi agen Islam yang baik. Bukanlah dengan kekerasan seperti yang dilakukan oleh Kara Mustafa Pasha. 

Hanum terkesan dengan kelembutan Fatma dalam menghadapi orang-orang yang menghina leluhurnya, bukannya mendamprat malah membayar semua makanan dan minuman yang dipesan oleh mereka yang menghina tadi. Hal ini kemudian ditirunya untuk sang tetangga yang sempat menghina bau asap ikan asin ketika Hanum sedang menggoreng. 

Ada apa dibalik cerita ikan asin selanjutnya ?
Lain cerita, sang suami, Rangga (Abimana Aryasatya) terjebak dalam konflik jiwa ketika harus mengedepankan pilihan antara pendidikan doktoral yang dia tempuh di Vienna University dengan prinsip ibadah. Ditingkahi pula dengan seorang teman wanita cantik nan menggoda, Marja (Marissa Nasution) serta dua sahabat lainnya yaitu Khan (Alex Abbad) yang selalu memberikan semangat keras terhadap prinsip ibadah dan Stefan (Nino Fernandez) seorang atheis yang sempat mengusik Rangga dengan berbagai pertanyaan tentang agama, menjadi bumbu cerita yang menarik dan juga mengundang tawa.
Kita akan disuguhi pemandangan nan elok dari hilir mudiknya kereta listrik dan trem, pesona bangunan-bangunan kuno nan megah, perkenalan dengan restoran berprinsip sedekah (All You Can Eat, Pay As You Wish) bernama Der Wiener Deewan, dan hamparan taman juga membuai angan kita untuk ikut merasa seakan-akan berada di sana. 

Kisah gerbang kemenangan Napoleon Bonaparte, tugu Obeliks, Piramida Louvre juga menjadi hal yang paling menarik, karena di sana terdapat titik keterkaitannya dengan garis lurus imajiner menuju arah Ka’bah. Iringan musik  yang syahdu menambah hati kian membuncah untuk bisa menyentuh Eropa sesungguhnya. Nyaris tanpa konflik.
Film bergenre drama ini akan dibagi menjadi dua film. Cuplikan sekuelnya di penutup film kelihatannya semakin seru untuk disaksikan selanjutnya. Seperti dilansir oleh sutradara, dana yang digelontorkan untuk mengurus perizinan syuting sangatlah mahal, sehingga pengambilan gambar dilaksanakan sebaik mungkin. Dukungan akting para pemain utama dan para pendukung pun sangat baik. 

Bahkan gaya si ganteng Nino Fernandez dan si cantik Dewi Sandra cukup mencuri perhatian saya, aktingnya memukau. Apalagi saat adegan Ayse memakaikan jilbabnya kepada Marion, agar segera menutup auratnya saat membaca Al Qur'an, cukup membuat mata ini basah karena terharu. 

Penampilan sekilas dan khusus Dian Pelangi, Hanum Salsabila, dan penyanyi Fatin Shidqia turut menghiasi alur cerita. Maka kita akan dibuat cukup puas dalam menyaksikan rangkaian film ini.
Dialog yang bercampur bahasa (termasuk berbahasa Indonesia) sebenarnya dapat membingungkan penonton, mungkin orang akan bertanya darimana sebenarnya tokoh-tokoh itu murni berasal? apa memang benar-benar murni keturunan Turki, Jerman, atau Pakistan, apa kebetulan mereka juga keturunan Indonesia? Sehingga bisa berbahasa Indonesia. 

Bagiku ini adalah kelemahan. Karena tidak semua penonton pernah membaca novel aslinya, perlu waktu untuk bisa memahami para tokoh-tokoh cerita. Untuk lebih mendalami, diharapkan memang kita pernah membaca novel tersebut. Walaupun memang tidak dipungkiri, kesesuaian antara film dan novel banyak yang tidak pas, sepertinya ada yang dikurangi maupun ditambah. 

Tak apalah, yang penting enak ditonton dan penuh syarat makna. Menurut saya film ini mempunyai nilai 8 dari 10. Anda penasaran? yuk, kita tonton! :)


*diceritakan kembali oleh penulis saat diberi kesempatan nonton bareng (klik Nonton Bareng Gala Premiere) di Megablitz Grand Indonesia Jakarta. Jum'at 29 November 2013

6 komentar:

  1. Bagus mak, jadi pengen nonton :)

    BalasHapus
  2. saya belum pernah baca novelnya. tapi melihat euforianya saya jadi pengen baca novelnya nih, dan tentu saja juga nonton filmnya (di daerah saya entah kapan). lebih memikat mana mak? novelnya atau film nya?

    BalasHapus
    Balasan
    1. sejujurnya lebih lengkap di novelnya sih, hihi.. tapi kalau kepengen lihat lebih dekat nuansa Eropa, film ini cukup membayar impian ^_^.. terimakasih sudah mampir mak :)

      Hapus
  3. pemandangan filmnya yg menggugah apalagi ada riwayat history di dalamnya itu juga mak yg bikin layak dibaca dan ditonton, hehe.. terimakasih sudah mampir mbak Ririn :)

    BalasHapus
  4. novelnya bagus mak...saya sangat menikmatinya...jadi ingin nonton filmnya dan lihat apakah keindahan novelnya bisa terefleksikan di sana :D...

    BalasHapus
    Balasan
    1. hampir setiap film yang diangkat dari kisah novel memang pasti tdk bisa terealisasikan semua mbak Indah, demikian juga film pertama ini, walaupun selanjutnya ada film lanjutannya, cooming soon.
      So far menurutku lumayan deh, soalnya pemandangannya indah dan serasa kita ikut berada di dalamnya, apa karena bioskop kali ya, layarnya lebar, hehe

      terimakasih sudah mampir mbak Indah ^_^

      Hapus

Agar tidak spam pada komentar, gunakan akun Google kamu. Atau kirim email ke: info.narasilia@gmail.com. Thank you ❤

Pengikut:

Lia Lathifa's Medium Audience Badge